Subscribe:

Ads 468x60px

Pages

Sabtu, 16 April 2011

Jathilan Turonggo Mudho Manunggal


Sejarah awal berdirinya jathilan Turonggo Mudho Manunggal awalnya rintisan dari Satrio Piningit, Wawan Sukapres dan Jebrik Sudengkek sekitar setahun yang lalu. Tapi sampai saat ini yang masih berperan aktif tinggal Satrio Piningit karena yang dua orang meninggal akibat bencana merapi dan jasadnya sampai saat ini masih belum diketemukan.Mudah-mudahan pauyuban ini tetap mekar dan abadi seperti maksud dan tujuan kami mendirikanya.
Kebudayaan harus kita pertahankan dan kita uri-uri agar tetap lestari dan ngremboko. Kebudayaan jawa yang terkenal yang "Adiluhung" itu kita wariskan dari generasi ke generasi supaya tetap lestari. Mendidik jiwa seni yang dapat menjiwai, mendidik mental baja dengan menyalurkan lewat kesenian dan membuat jiwa kekeluargaan yang sangat tinggi. Jathilan Turonggo Mudho Manunggal berdiri di dusun Dampit, Ngemplakseneng, Manisrenggo, klaten, Jawa Tengah. Dan beranggotakan dari dusun Dampit dan Gulangan, Ngemplakseneng dengan jumlah 60 orang meliputi anak-anak, remaja putra/putri dan orang tua.
Paguyuban ini disesepuhi atau dipimpin oleh bapak Mukiman dan bapak Surono beserta pengurusnya yang meliputi dua desa tersebut. Adapun para pembimbing dan penasehat didalam paguyuban ini yaitu Kyai Mento Wiyono, Kyai Sugeng Lor Jaratan dan Kyai Kemis Mangun Sukimo.

JATHILAN DAN REOG


Jathilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan property berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaknya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada salah seorang penarinya.
Penari jathilan dahulu hanya berjumlah 2 orang, tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan. Tarian jathilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang. Selain penari berkuda, ada juga penari yang tidak berkuda tetapi memakai topeng. Di antaranya adalah penthul, bejer, cepet, gendruwo dan barongan.
Reog dan jathilan kini fungsinya hanya sebagai tontonan/hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada jaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar atau midhang kepasar.

Perbedaan antara jathilan dan reog antara lain adalah pertama, dalam permainan jathilan penari kadang-kadang bisa mencapai trance, sedangkan pada reog penari tidak bisa mengalami hal ini, pada jathilan selama permainan berlangsung digunakan tempat/arena yang tetap. Pada reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara.
Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain jathilan dan reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek moyang mereka. Orang-orang umumnya menyatakan bahwa jathilan dan reog sudah ada sejak dulu kala.
Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota. Meskipun demikian, biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan/pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang).

"JATHILAN"


Jathilan adalah sebuah drama tari yang menampilkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda. Ketika ditampilkan, sang penari menggunakan sebuah kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan Kuda Kepang. Penari menempatkan kuda kepang ini diantara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang kesatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi alat musik kendhang, bonang, saron, kempul, selompret dan ketipung.
Jathilan dikenal sebagai salah-satu bentuk tarian yang paling tua di Jawa. Kesenian ini juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau jaran. Tari Jathilan juga merupakan pentas drama yang dibawakan enam ato lebih orang secara berpasangan yang menggunakan seragam serupa. Sebagai tambahan tari ini, juga menampilkan penari yang menggunakan topeng ato barongan. Dengan tokoh-tokoh yang beragam, ada buto ijo(setan) atau barongan (sapi) dll. Mereka muncul kala para prajurit itu berangkat perang dengan tujuan untuk menganggu.
Tidak ada yang mengetahui dan mendefinisikan kapan mulanya tari ini ada. Namun yang pasti, Jathilan berkembang di beberapa wilayah seperti, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masing-masing wilayah tersebut menampilkan versi masing-masing. Soal cerita, mereka biasanya identik menampilkan lakon yang sama tapi versi.
Tari ini sifatnya fleksibel, bisa ditampilkan dimana saja, saat pesta pernikahan, sunatan atau pada saat pesta maupun festival kesenian rakyat.
Menurut seorang dosen Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Gandung Sudjatmiko, seni ini bersumber dari rakyat jelata.
Hal ini bisa dilihat dari penampilan kesederhanaan pakaian yang digunakan para penari. Mereka mengenakan celana sebatas lutut, kain batik bawahan, kemeja atau kaus lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu (srempeng), selendang pinggang (sampur) dan kain ikat kepala (udheng) dan hiasan telinga (sumping). Para penari berdandan mencolok. Tentu sangat berbeda dengan pakaian sebuah pembesar kerajaan yang menggunakan pakaian serba lengkap dan gemerlap. Tarian yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan komposisi musik yang sederhana, namun dengan penuh semangat.
Identik dengan Kesurupan
Jathilan adalah merupakan drama tari dengan adegan pertempuran sesama prajurit berkuda dengan senjata, dimana tarian ini mengutamakan tema perjuangan prajurit yang gagah perkasa di medan perang dengan menunggang kuda dan bersenjatakan. Namun demikian, masyarakat lebih mengenalnya sebagai sebuah tarian yang identik dengan tarian yang mengandung unsur magis dan kesurupan.
Pada versi aslinya, para penari Jathilan akan melakukan adegan tarian yang terus-menerus tanpa berhenti sambil berputar-putar hingga salah satu dari mereka mengalami apa yang disebut trance (kondisi tidak sadarkan diri tapi tetap menari).
Penonton akan dibuat tegang ketika mereka mulai meraih apa saja yang ada didepannya. Bahkan pecahan kaca bisa dimakan sang penari yang tak merasakan sakit apalagi berdarah sedikitpun. Mereka mengunyahnya laksana menikmati makanan cemilan yang enak dan nikmat. Bagi sementara penonton, memang adegan trance itu merupakan tontonan mengasyikkan. Bagaimana manusia memakan kaca, memakan rumput, mengupas kulit kelapa dengan gigi dan adegan berbahaya lainnya.
Seiring perjalanan waktu, kini seni tari Jathilan bisa divariasikan dengan berbagai musik lain. Sebut saja dengan Jathilan model baru. Mereka sudah merambah ke wilayah dan nuansa modern dengan mengolaborasikan musik yang ada pada zaman sekarang yang tidak terkesan kampungan, seperti  campur Sari dan Dangdut.